Jumat, 06 September 2013

ANDA MEMASUKI ZONA PENDIDIKAN INDONESIA

Orang pintar di Indonesia sebegitu menumpuknya sampai-sampai tak mampu lagi di tampung negeri ini.Kenyataan tersebut dapat di buktikan dari semakin produktifnya kampus-kampus ber-brand pemerintah maupun yang bergaya swasta dalam memproduksi insan-insan intelektual segar saban tahun.Kalau masih sangsi kita ambil contoh lokal saja.

Dulu sewaktu kuliah,kampus saya menjadi trend langka karena belum ada satu kampus pun di lombok yang menyediakan studi paramedis layaknya kampus saya.Menjadi pekerja medis macam perawat atau analis kesehatan konon katanya memiliki peluang profit menjanjikan kedua setelah dokter ( berdasarkan rumor tersebut,saya belum menemukan korelasi yang pantas dipercaya dengan situasi saat ini,karena tak sedikit pekerja medis yang bergaji kecil hingga akhirnya bangkrut.)  karena profesinya yang di anggap always by order-selalu di butuhkan- sampai kapanpun.Itu sebabnya,kuliah medis sama dengan menyuapi pengelolanya dengan uang berbundel-bundel karena biaya studinya yang tidak murah.Bayangkan,sekadar masuk saja kita harus dipastikan clear dari serangkaian uji seleksi bergaya militer hanya saja tanpa uji ketahanan fisik hingga banyak sebagian pihak yang nekat bermain curang dengan menggelontorkan uang dalam jumlah besar demi lulus! that’s it .



Akhir kata mahasiswa yang diterima pun tak kurang dari 200 orang,tapi itu dulu.Kini bermunculan para tetangga yang rasa-rasanya punya indera penciuman dengan sensitivitas tinggi.Para tetangga ini  nampaknya menyadari ada semacam aroma menghanyutkan dari dunia perkampusan medis.Maka tertariklah mereka menciptakan kampus serupa bahkan dengan mengusung visi investasi bisnis.Bak cendawan di musim hujan,kampus-kampus baru pun bermunculan (proses berantai ini masih marak).Hingga kini setidaknya ada sekitar2-4 kampus medis yang memaksakan diri untuk berdiri itupun dengan status abal-abal.Karena tema pembicaraan kita tidak menekankan masalah ini,Oke.Anggaplah kampus-kampus medis ini bermodus baik.Kita mulai melakukan perhitungan kasar.Taruhlah total perguruan tinggi kesehatan di lombok berjumlah delapan institusi.Jika rata-rata ke delapan kampus ini menerima 200 mahasiswa maka kalau dikalikan,kedelapan kampus tersebut akan meluluskan setidaknya 1600 orang pintar setiap tahun.Ini baru di lombok,belum termasuk daerah lain di seluruh indonesia.Anda hitung sendiri jumlahnya.


Lalu bagaimana dengan perguruan tinggi non medis ? sama saja,sama-sama saling tumpang dan tindih.Sekali lagi,terlepas dari jurusan,departemen,fakultas apapun yang anda ambil,nuansa pendidikan tinggi di negeri kita sepertinya lebih condong membanggakan diri terhadap kuantitas bukan kualitas mahasiswanya.Jika anda mencoba melawan peryataan itu dengan berkata :” Wajar,siapa yang tak bangga punya mahasiswa banyak!” Memang logis,maka pantas saja jika ternyata kontribusi kaum intelektual di Indonesia,khususnya dosen  dalam dunia akademik di tingkat Asia Tenggara hanya menempati posisi keenam.Sejak tahun 1970 hingga 2000 (ini merupakan rekor terpanjang),produksi pengetahuan mereka hanya 10 artikel per tahun.Bahkan data yang di perlihatkan oleh Quacqerelli Symonds World University Ranking,sebuah lembaga pemeringkat yang memiliki reputasi cukup baik dalam menilai Universitas-universitas berkelas dunia dengan enam parameter penilaian andalannya termasuk reputasi akademik,reputasi institusi,rasio mahasiswa dan dosen menunjukkan bahwa hanya ada tiga Universitas di indonesia yang masuk dalam daftar 500 besar World-class university.Pada tahun 2011 Universitas Indonesia (UI) menempati peringkat ke-217.UGM dan ITB menyusul di bawahnya dengan menggandeng skor masing-masing 342 dan 451.Pada tahun 2012 yang lalu, peringkat UI kian melempem menjadi 273.Tak ada bedanya dengan skor yang di perlihatkan UGM dan ITB.Kondisi ini juga ikut di perparah dengan pengajar (para dosen) yang rata-rata enggan menulis karya ilmiah.Itu baru terhitung dosen.Saya tak begitu yakin,apa yang terjadi dengan para mahasiswanya.

JIKA KUALITAS BUKAN PILIHAN,APA YANG HARUS DI PILIH ?

Ada semacam kekhawatiran tersendiri saat melihat kaum terpelajar ini berkumpul beramai-ramai di satu tempat yang sama (indonesia).Rasa cemas itu besar kemungkinan muncul akibat kian kontrasnya karakteristik yang di pertontonkan orang-orang pintar ala indonesia.Karakteristik yang nyaris tak bisa di sembunyikan adalah timbulnya naluri ‘kanibalistik’ di antara mereka.Naluri pemangsa semacam itu tentu tak timbul secara alami melainkan ada pemicunya.Apa boleh buat,pemicunya lagi-lagi bersumber dari sistem pendidikan yang rancu.Di dalam bukunya yang berjudul “siapa pintar siapa bodoh” Profesor Elfindri membeberkan tesis yang menarik mengenai target pencapaian mutu pembelajaran pada setiap jenjang pendidikan.Ia mengatakan,Membangun kecerdasan emosi di mulai pada saat anak masuk ke usia pra sekolah.Sedangkan kemampuan dasar seperti berhitung membaca dan menulis di mulai pada saat pendidikan dasar.Saat di sekolah menengah pertama (SMP) mempersiapkan anak didik untuk mengolah kemampuan berpikir dan nalar.Pada tingkat SMA yang di kembangkan adalah kemampuan belajar.Sedangkan untuk tingkat S1,S2 dan S3 saat untuk membekali diri bagaimana mengambil keputusan.



Yang jadi masalah adalah,sistem pendidikan kita cenderung berfokus pada satu dimensi saja.Alih-alih mengikuti saran seorang pakar macam Prof.Elfindri yang punya jangkauan dimensi lebih luas.Model pendidikan kita justru terobsesi menekankan bobot kecerdasan intelektual belaka.Kecerdasan emosi dan spritual yang amat penting dalam membentuk karakter baik terabaikan sama sekali.Bahkan sejak taman kanak-kanak kita mulai di perkenalkan dengan sistem yang nuansanya amat lekat dengan perburuan “intelektualitas”.Mungkin anda masih ingat dengan pola pemeringkatan (ranking) yang mau ataupun tidak akan memaksa kita berkompetisi memperebutkan kasta intelektual tertinggi di dalam kelas ? Dan model semacam ini cenderung bertahan hingga SMA.Di perguruan tinggi sebutannya berubah menjadi IP (Indeks Prestasi).Hukum rimba pun tercipta,tak ada yang di setarakan.Yang pintar berbangga dan yang tidak pintar tertunduk malu.Saya tidak mempermasalahkan anda yang tidak pintar.Itu pilihan anda.Saya hanya mempermasalahkan  mereka yang berlagak “superior” di dalam kelas.

Perhatikan saja ciri-ciri orang super ini : Pertama.Pendapat anda tak ingin di dengar,pendapatnyalah yang pantas di dengar.Kedua.Merasa diri paling benar,anda hanya menyia nyiakan tenaga mendebat orang-orang semacam ini,karena anda akan tetap salah.Bayangkan jika jenis mereka di produksi setiap tahun melalui pabrik (Perguruan Tinggi),bukankah anda yang tak terbiasa berkompetisi akan tertinggal dan di makan.Situasi yang sungguh menekan batin.Inilah kanibalistik!


Boleh jadi kelak para pencari persaingan yang superior itu lebih memungkinkan menguasai pasar kerja di banding anda yang bukan golongan superior,meskipun kapasitas otak anda tergolong jenius namun jika tak mampu bersaing atau berkompetisi,ada kemungkinan anda akan tergilas.Carut marut sistem pendidikan di indonesia nyaris tak memperdulikan siapa dan seberkualitas apa output pendidikan seseorang.Kualitas anda hanya ditentukan jika anda berani dan berpengalaman terutama saat bersaing.Golongan realis berkokok “berani berarti anda sudah menang”.Golongan idealis justru berkata “Kreatif berarti anda sudah selamat” Saya tidak begitu tahu anda di golongan yang mana.






Tentang Miskal Yamani
Mahasiswa tingkat akhir di Sekolah Tinggi Kesehatan Mataram.Ia sedang mengembangkan laporan penelitian mengenai relevansi antara luka dan istirahat.Memiliki minat yang sangat tinggi pada dunia kepenulisan dan ia sedang berusaha membidik program Magister pada konsentrasi Andrologi.





Ingin bertanya mengenai seluk beluk kesehatan dan psikologi pada Miskal ? Berdiskusilah secara personal dengannya melalui  form ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar